Sabtu, 10 Mei 2025

 

Dari “Gang Ndeso” Menuju Cakrawala

Tentang Desain dan Kopi yang Tumbuh Menjadi Jalan Hidup, Menjunjung Passion Dan Mengisi Perut, Tanpa Harus Berkelana

Universitas Negeri Yogyakarta

Di antara benteng-benteng yang berdesakan, dimana daun gugur mengotori jalanan, ada sebuah ruang tak terhingga yang menyimpan mimpi-mimpi tak terukur. Mereka bilang, “gang ndeso” adalah sebuah batas, tapi bagi kami, ia ibarat kanvas pertama. “Nggunung” sebuah kata yang sering mereka lontarkan, dengan ribuan sudut yang sunyi, namun penuh cerita, adalah sumber kehidupan kami. Garis-garis di sketsa buku adalah jalan-jalan baru yang kami buka dan kami harapkan, setiap warna adalah emosi yang melampaui tumbuhan. Kopi adalah sahabat setia, aroma pekatnya mengundang inspirasi, di tengah obrolan santai yang justru melahirkan ide-ide besar. Dan? Ia adalah mantra kami, dengan jari-jari yang menari di atas keyboard, kami menulis masa depan dalam bahasa yang dipahami dunia..

"Menurut Unesco dari buku ”Ekonomi Kreatif, Inovasi, Peluang, dan Tantangan Ekonomi Kreatif di Indonesia” Ekonomi Kreatif adalah sebuah sektor dalam negeri yang dapat menjual sebuah karya, budaya, dan intelektual yang dapat menambah nilai suatu barang dan jasa tersebut. Berdasarkan data dari Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), pada tahun 2019 sektor ekonomi kreatif memberikan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, yakni sebesar 7,44%, dengan total nilai ekonomi mencapai sekitar Rp 1.100 triliun. Selain peran ekonominya, sektor ini juga memiliki dampak sosial yang besar, terbukti dengan penyerapan tenaga kerja lebih dari 17 juta orang. Mayoritas dari tenaga kerja tersebut berasal dari generasi muda yang memiliki kompetensi tinggi dalam bidang keterampilan dan inovasi (BPS, 2020)"

Ekonomi Kreatif dalam Sudut Pandang Global

Kota besar bukanlah satu-satunya panggung. Di “ndeso” ini, kami belajar bahwa ruang yang dimakan zaman justru memaksa kreativitas untuk tumbuh vertikal, seperti akar yang menemukan celah di antara batu, lalu mekar menembus keterbatasan, dan menjadi pohon kokoh. Teknologi telah meruntuhkan benteng-benteng itu, sedang laptop dan koneksi internet adalah gerbang kami menuju cakrawala. Mungkin jalan di sini terkesan kuno, tetapi visi kami tak akan pernah dimakan zaman.

Portret Nunung: Seniman di Balik Layar

Nunung, 27 tahun. Namanya sederhana, tapi hidupnya penuh suka dan duka. Tempat tinggalnya, bukan sekadar bangunan, tapi panggung raksasa tempat bercerita, argumen bertabrakan, cerita yang dibawa, dan kopi jadi saksi percakapan yang enggan selesai. Teman-temannya datang seperti musim, kadang hangat, kadang hingar. Namun saat mereka pergi, sunyi menyelinap seperti kabut dini hari, diam, tapi menusuk. Rumah itu jadi hampa, mungkin jika tembok itu bernyawa, ia akan berteriak. Tapi Nunung punya senjata, yaitu cahaya, warna dan secangkir kopi setiap pagi. Bukan kopi sembarang kopi biasa, melainkan yang ia seduh perlahan, dengan aroma yang ia anggap sebagai doa harian. Di antara kekacauan dunia dan riuh pikirannya, kopi menjadi jeda, menjadi pelukan hangat di tengah gelisah. Layar 14 inci itu adalah kompas, touchpad-nya peta buta. Setiap kali hotspot menyala, ia menjadi kuda yang membawa penunggangnya menjelajah padang savana data yang kadang tersesat di hutan algoritma, kadang menemukan oasis kolaborasi. Ia menatap komputer sambil menyeruput perlahan, dan dari balik uap yang mengambang, ia menemukan semangat untuk bertahan, untuk terus menata hidup dengan warna-warna pilihannya. Karena bagi Nunung, hidup boleh rumit, tapi garapan dan kopi adalah hal-hal kecil yang menyelamatkan.

Ruang Kerja Nunung Dalam Kesehariannya, 10 Mei 2025

Portret Nunung: Tempat Mengekspresikan Emosi Dalam Karya

Ia adalah bagian dari gelombang yang dikatakan oleh John Howkins, pada 2001, disebut sebagai ekonomi kreatif, sebuah medan baru tempat ide, imajinasi, dan kreativitas menjadi mata uang utama. Di dunia ini, pikiran bisa dikonversi menjadi penghasilan dan juga karya, menjadi kehidupan. Sebagai desainer dan fotografer, ia menyulap kekacauan menjadi komposisi, mengubah kenangan menjadi bidikan yang tak lekang. Kamera dan layar menjadi perpanjangan jiwanya, tempat luka-luka hidup diterjemahkan dalam bentuk yang utuh. Mungkin ada kekosongan dihidupnya, diatasi bukan dengan ratap, tapi dengan karya. Klient datang seperti hujan bulan Juli yang tak pasti. Kadang deras, kadang gersang. Harga ditawar seenaknya, revisi datang bertubi-tubi, dan kadang klien mengharuskan ia menembus jarak, waktu, bahkan cuaca. Tapi Nunung tak mundur. Ia tahu, hidup bukan soal mudah atau tidak, tapi soal apa yang bisa kau nyalakan dalam gelap. Ia pelukis cahaya di atas luka, penjelajah bentuk, peracik warna. Dan lewat lensanya, dunia jadi lebih jujur, lebih hidup, dan lebih lega.

Ekonomi Kreatif Hanya Sebuah Angan-Angan? TIDAK!

Menurut Rahayu P (2011) mengungkapkan bahwa industri kreatif bagai pelukis tak kasatmata yang mengukir jejak ekonomi di kanvas bangsa dan merajut lapangan kerja, mengalirkan hasil karya ke kancah global, serta menjadi nafas bagi iklim bisnis yang berdenyut penuh harapan. Ia tak sekadar angka di deret PDB, melainkan cermin jati diri yang memantulkan identitas negeri melalui inovasi yang lahir dari sumber daya tak lekang zaman. Di sini, kreativitas adalah benih yang tumbuh subur di tanah kompetitif, menyuburkan sosial dengan akar kebaruan, dan mengajarkan dunia: kemajuan tak harus mengorbankan keberlanjutan. Inilah kuasa industri kreatif: mengubah yang tak terlihat menjadi warisan, dan yang imajinatif menjadi tonggak kemajuan bangsa."

Nata Yang Diremehkan: Seniman Digital Pegiat Eropa

Kurang Saikou (bahasa jepangnya mantap) jika harus Nunung yang menjadi inspirasi, kali ini Nata (nama samaran), Tak banyak yang mengira bahwa Nata, pria kelahiran ndeso, akan menorehkan namanya dalam warna-warna dunia. Di usia 35 tahun, ia hidup berkecukupan, bahkan lebih dari sekadar cukup, itu semua berkat garis-garis digital yang ia ciptakan dari ujung jari dan pena digitalnya. Ia bukan pelukis dengan galeri megah atau gelar tinggi, tapi seorang pemimpi yang pernah diragukan, diremehkan, dan dianggap terlalu berani berjalan sendiri di jalur yang jarang dipilih, seni digital. Seperti yang diungkapkan Ernesto Piedras, ekonomi kreatif tumbuh dari tanah yang disiram oleh kreativitas yang meliputi seni, film, musik, hingga mode. Nata adalah bukti nyata dari konsep itu! Ia seorang seniman yang menyulam penghidupan dari imajinasi, bukan dari rumus-rumus pasti. Dulu, banyak yang melihat keputusannya dengan tatapan iba! Menggambar? Untuk hidup? Terlalu rapuh, pikir mereka. Tapi Nata tahu, suara hati tidak bisa dipadamkan dengan logika orang lain. Ia terus menggambar, di sela waktu, di malam yang panjang, dan pagi yang sunyi. Hingga pada akhirnya, karya-karyanya menemukan tempat berteduh di layar-layar asing, lalu terbang jauh, menembus dinding-dinding galeri di Eropa.

Perempuan Penjaga Nata

Di balik keberhasilannya, ada seorang perempuan yang berdiri bukan di belakang, tapi di sampingnya, yaitu istrinya, yang fasih berbahasa Inggris dan fasih pula dalam memahami dunia seni dan menjaga komunikasi dengan klien yang bahasa Benua Eropa. Mereka bertemu lewat kegemaran yang sama dan menjadikannya benang yang mengikat hari-hari mereka. Kini, keduanya membesarkan seorang putri kecil, dengan rumah yang dipenuhi gambar, tawa, dan cita-cita. Hidup Nata adalah lukisan itu sendiri, lahir dari sketsa kesabaran, diwarnai oleh keyakinan, dan diberi bingkai oleh cinta.

Mengapa Ndeso? Mengapa Nggunung? Kami Juga Bisa!

Di balik cerita dan debu jalanan sempit yang biasa disebut "gang ndeso", seta di antara uap hangat secangkir kopi yang perlahan menguap di pagi hari, ada dua arjuna, yaitu Nunung dan Nata. Bagi mereka, kreativitas bukan cuma pelarian dari rutinitas harian, tapi lebih dari itu. Ia menjadi cahaya kecil yang memberi arah, bahkan ketika hidup terasa gelap dan sempit.

Mereka tak perlu mengejar panggung di kota besar, karena panggung itu sudah mereka bangun sendiri. Dari rumah, dari desa, dari ruang kecil tempat ide-ide diseduh bersama kopi. Dari jari-jemari yang menari di atas keyboard, dan dari gambar-gambar digital yang menembus batas geografis. Cerita mereka menunjukkan bahwa ekonomi kreatif itu nyata, bahkan di tempat yang sering dianggap “tertinggal.” Ini bukan dongeng kota. Ini tentang keberanian bermimpi, tentang internet yang membuka jendela dunia, dan tentang komunitas yang tak ragu saling dorong dan dukung.

Siapa sangka, dari gang kecil yang dulunya dianggap sepi peluang, justru tumbuh semacam laboratorium gagasan. Tempat logika dan passion berdampingan. Di mana kopi bukan sekadar teman begadang, tapi jadi simbol ketekunan. Dan setiap karya digital mereka adalah pernyataan diam, “Kami bisa. Dari sini. Dengan cara kami.” Untuk kamu yang mungkin masih ragu atau entah tinggal di ujung kota atau jauh di desa, ingatlah, tidak ada tempat yang terlalu kecil untuk memulai mimpi. Dunia ini luas, dan selalu punya ruang untuk orang-orang yang berani melangkah dengan keringat sendiri. Seperti Nunung dan Nata, kamu pun bisa mulai dari tempatmu berdiri. Tak perlu jadi siapa-siapa, cukup jadi versi terbaik dari dirimu dan biarkan dunia mengenalmu lewat karya.

Universitas Negeri Yogyakarta

Referensi

Sumber:
Nunung dan Nata, 2025
Ari Riswanto, T. S. (2023). EKONOMI KREATIF : Inovasi, Peluang, dan Tantangan Ekonomi Kreatif di Indonesia. Jambi: PT. Sonpedia Publishing Indonesia.
CNN. (2024). Pengertian Ekonomi Kreatif Menurut Ahli dan Contohnya. Jakarta: CNN Indonesia.
Dra. Sri Eko Puji Rahayu, M.Si (2011). POTENSI INDUSTRI KREATIF BIDANG FASHION SEBAGAI SUMBER DEVISA NEGARA. https://journal.uny.ac.id/index.php/ptbb/article/view/30876/13295.